Welcome to my blog, enjoy reading.

Jumat, 22 April 2011

Asteroid Lutetia ditabrak asteroid kecil

asteroid lutetia

Apa yang Menabrakmu, Lutetia?

SEBUAH wahana antariksa tak berawak yang sedang dalam perjalanan menuju dan untuk menyelidiki sifat komet Churyumov-Gerasimenko pada tahun 2014, berpapasan dengan sebuah asteroid aneh, 10 Juli 2010. Rosetta, begitulah nama wahana yang diorbitkan European Space Agency (ESA), melintas sejauh 3.160 km pada kecepatan 15 km/detik dari asteroid Lutetia.

Itulah asteroid yang berdimensi 132 x 101 x 76 km dan tergolong asteroid besar di kawasan Sabuk Asteroid Utama. Citra dan data kiriman Rosetta sungguh mencengangkan astronom dan geolog keplanetan.

Permukaan Lutetia penuh kawah besar nan tua yang ditindihi kawah muda lebih kecil. Seluruh permukaan Lutetia ditutupi lapisan debu (regolith) tebal dan di salah satu kawah dijumpai tanda-tanda longsoran debu berskala besar. Sumbu rotasi Lutetia miring 89 derajat terhadap ekliptika, yang membuat sikap Lutetia seperti Planet Uranus, yakni berotasi secara rebah.

Jadi kutub utara Lutetia tersinari matahari selama 1,9 tahun dan selanjutnya tergelapkan selama 1,9 tahun pula. Semua mengindikasikan Lutetia adalah sisa dari tabrakan dahsyat dengan sesama benda langit lain bermiliar tahun silam, peristiwa yang selama ini hanya jadi hipotesis. Apa yang menabrak belum jelas, tetapi tabrakan itu meremukkan seluruh lapisan kerak dan selubungnya menjadi beragam pecahan dan hanya menyisakan inti besar yang relatif lebih padat. Pecahan-pecahan itu mungkin menjadi salah satu sumber meteoroid kondritik yang acap jatuh ke Bumi sebagai meteor spontan.

Bencana Global

Diskursus mengenai asteroid saat ini sering dikaitkan dengan potensinya sebagai pemantik bencana global. Namun itu tidak datang begitu saja. Meski observasi sudah dilakukan sejak 1801 seiring dengan penemuan Ceres, asteroid terbesar yang kini diklasifikasikan sebagai planet kerdil berdasar resolusi IAU 2006, berkait dengan bencana global, baru diselidiki sejak setengah abad terakhir.

Sebelum abad ke-20, bencana global dianggap hanya disebabkan oleh letusan dahsyat (paroksismal) gunung berapi. Anggapan itu seolah menemu relevansinya tatkala tahun 1815 Gunung Tambora meletus dengan kedahsyatan tak terperikan sepanjang catatan sejarah. Tahun 1883 giliran Gunung Krakatau unjuk gigi, meski debu vulkanisnya hanya 12% volume debu Tambora. Kedua letusan itu menyebarkan debu vulkanik teramat banyak ke lapisan stratosfer, hingga menghalangi cahaya matahari yang berimplikasi terhadap penurunan suhu permukaan bumi. Itu menghasilkan perubahan cuaca global dengan dampak dari kelangkaan pangan hingga kemenyebaran wabah penyakit baru.

Kelahiran abad nuklir berimplikasi terhadap pergeseran paradigma akan pemantik bencana global. Ketinggian kecepatan relatif asteroid terhadap Bumi membuat potensi energi kinetiknya bisa disetarakan dengan energi ledakan nuklir sehingga, meski asteroid tak mengandung bahan radioaktif, daya perusaknya pun setara. Itu diperkuat hasil penyelidikan komprehensif Kawah Meteor di Arizona (AS), yang memastikannya sebagai produk tumbukan asteroid bergaris tengah 30 m pada 50.000 tahun silam.

Tumbukan itu melepaskan energi 3,5 megaton TNT (175 kali energi bom Hiroshima) dan mengubah batuan sedimen menjadi batuan metamorf dinamik seperti coesite dan stishovite. Batuan metamorf itu hanya terbentuk dalam lingkungan tekanan sangat tinggi, yang secara alami hanya muncul pada kejadian tumbukan asteroid dengan bumi.

Tidak pada kejadian-kejadian tektonik dan vulkanik. Kajian dinamika atmosfer pun menunjukkan sebaran debu akibat tumbukan asteroid dapat menyamai dampak sebaran debu akibat letusan katastrofik.
Pergeseran paradigma itu membawa pada kesadaran: betapa perlu mengeksplorasi asteroid lebih jauh, mengingat ketersediaan informasi nan akurat jauh lebih penting ketimbang berspekulasi pesimistik.

Spekulasi itu, misalnya, mengemuka menjelang 1992 tatkala dunia dihebohkan oleh mendekatnya komet Swift-Tuttle (periode 133 tahun) dan muncul prediksi saat komet tersebut kembali berdekatan dengan bumi pada Agustus 2126. Jaraknya sedemikian dekat, sehingga bisa bertabrakan dengan Bumi. Energi yang bakal dilepaskan diestimasikan 27,5 kali lipat energi tumbukan asteroid pada 65 juta tahun silam; peristiwa yang memusnahkan dinosaurus (Suara Merdeka, 24/5). Spekulasi kian menguat seiring dengan tabrakan mengejutkan komet Shoemaker-Levy 9 dan Planet Jupiter pada 16-22 Juli 1994, meski kajian astronom Gary W Kronk dan Brian G Marsden (1992) secara terpisah menyimpulkan ketinggian stabilitas orbit komet Swift-Tuttle sehingga tak berpeluang bertabrakan dengan Bumi hingga 2.000 tahun kelak.

Wahana

Kesadaran itu diwujudkan dalam dua arus besar: pengamatan berkelanjutan dari Bumi dan penerbangan antariksa. Pengamatan bertajuk program Spaceguard, yang terdiri atas subprogram seperti Linear, Loneos, Neat, Spacewatch, atau Catalina Sky Survey, yang bersenjata teleskop modern untuk menjelajahi keluasan langit dan mengidentifikasi benda langit tak dikenal secara otomatis sehingga profil orbitnya diketahui untuk analisis potensi bahayanya. Sukses besar dihasilkan tahun 2008, tatkala asteroid 2008 TC3 berdiameter 11 m dideteksi dan diprediksikan geraknya hanya 20 jam sebelum jatuh di ke Gurun Pasir Sahara di Sudan.

Sementara penerbangan antariksa diawali peluncuran Galileo. Galileo, yang sejatinya bertujuan menyelidiki Jupiter, terbang melintasi asteroid Gaspra dan Ida tahun 1993. Namun misi antariksa pertama yang khusus ditujukan ke asteroid adalah NEAR Shoemaker, yang menghampiri asteroid Mathilde tahun 1997 dalam perjalanan mengobservasi dan mendarat di asteroid Eros tahun 2001. Disusul Deep Space 1 yang mengamati asteroid Braille selagi terbang menuju komet Borrely, dan wahana Stardust yang memotret asteroid Annefrank selagi berusaha mengumpulkan debu komet Wild. Seluruh wahana itu diorbitkan NASA. Namun sukses berikutnya dicetak Jepang dengan JAXA-nya dalam misi Hayabusa (lihat boks).

Misi-misi antariksa itu berhasil meningkatkan informasi mengenai karakteristik dan dinamika asteroid secara eksponensial. Demikian pula Rosetta, yang terbang melintasi Lutetia ketika asteroid itu berjarak 456 juta km dari Bumi sehingga tampak sebagai benda langit sangat suram dengan magnitude visual +12 atau 250 kali lebih redup ketimbang bintang tersuram yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Pengamatan Lutetia membantu memecahkan salah satu teka-teki tentang evolusi orbit asteroid dan kaitannya dengan meteor spontan di Bumi. Namun penyelidikan asteroid masih jauh dari tuntas.

0 komentar:

Posting Komentar

what your comment ?