Welcome to my blog, enjoy reading.

Jumat, 22 April 2011

Asteroid kecil bisa disangka Serangan Nuklir


Picture
Asteroid-asteroid kecil yang memasuki atmosfer Bumi namun tidak pernah sampai jatuh ke tanah, ternyata dapat saja mendatangkan dampak mematikan.

Sebab, asteroid-asteroid tersebut mungkin dikira ledakan nuklir oleh negara-negara yang peralatannya tidak mampu menunjukkan perbedaan antara suatu benda angkasa dan rudal musuh, kata para ilmuwan AS.

Satu peristiwa seperti itu terjadi pada 6 Juni lalu, ketika satelit-satelit AS memberikan peringatan dini yang mendeteksi suatu kilatan cahaya di atas Mediterania (kawasan Laut Tengah).

Kilatan itu mengindikasikan adanya pelepasan energi besar seperti anergi bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima, Jepang, kata Brigadir Jenderal AD AS Simon Worden, di hadapan sidang DPR AS yang membahas isu ruang angkasa dan aeronautika, akhir pekan lalu.

Kilatan cahaya tersebut terjadi, ketika sebuah asteroid mungkin berdiameter 10 meter jatuh ke lapisan atmosfer Bumi, menghasilkan gelombang kejut yang akan mengguncang setiap kapal yang berlayar di kawasan tersebut dan mungkin menyebabkan kerusakan kecil, kata Worden.

Sedikit pemberitahuan diberikan mengenai peristiwa tersebut pada saat itu, tapi Worden mengatakan jika itu terjadi selama beberapa jam sebelumnya dan berlangsung di atas India dan Pakistan, akibatnya mungkin mengerikan.

''Menurut pengetahuan kami, tidak satu pun dari negara-negara itu memiliki sensor canggih yang dapat menentukan perbedaan antara objek dekat Bumi (NEO) alami, seperti asteroid, dan suatu ledakan nuklir,'' tambahnya.

619 Objek

''Kepanikan yang timbul di negara-negara bermusuhan yang masing-masing punya senjata nuklir bisa pecah dan menyulut perang nuklir yang kita hindari selama lebih dari separo abad,'' kata dia, pada sebuah komisi DPR yang menyidik risiko dari asteroid atau objek lain yang mungkin membentur Bumi.

''Pada saat Capitol Hill (Kongres AS) Putih sibuk membicarakan Presiden Saddam Hussein dan ancaman potensial Irak karena bisa menguasai senjata pemusnah massal, kita perlu mencatat bahwa ada objek-objek di luar angkasa yang mungkin mengarah ke Bumi, yang mengandung begitu banyak kekuatan destruktif sehingga membuat Saddam Hussein tampak menjadi faktor tidak berbahaya pada kehidupan kita,'' kata Dana Rohrabacher dari Partai Republik, California, yang menjabat sebagai ketua sidang itu, kepada peserta sidang.

Para pakar astronomi telah lama prihatin atas kerusakan akibat asteroid dan komet. Sejak 1998 NASA (Badan Penerbangan dan Antariksa AS) telah mengidentifikasi 90 persen dari seluruh NEO - objek-objek berdiameter satu kilometer atau lebih - pada 2008.

Kepala bidang ilmu ruang angkasa NASA, Ed Weiler, mengatakan pada komisi tersebut bahwa para ilmuwan telah mengidentifikasi 619 objek yang diduga asteroid besar dan berbahaya, yang sekitar separo pakar astronomi yakin asteroid-asteroid itu ada di sekitar Bumi.

Jenis asteroid besar tersebut membentur Bumi beberapa kali setiap jutaan tahun, dan ketika itu terjadi, menyebabkan bencana regional.

Sebaliknya, asteroid berdiameter 4,8 kilometer yang disebut penyebab kiamat - seperti diyakini orang telah memusnahkan dinosaurus - membentur Bumi sekali setiap sepuluh juta tahun atau lebih.

Dua Kali Setahun

Salah satu yang menyebabkan kilatan cahaya di atas Mediterania pada Juni lalu, mungkin asteroid berukuran sebesar mobil, dan tidak berbahaya bagi Bumi. Asteroid seperti itu memasuki atmosfir dua kali sebulan.

Namun asteroid-asteroid berukuran berkisar dari 30 meter sampai ratusan meter dapat menyebabkan kerusakan serius, termasuk menimbulkan gelombang kejut yang luar biasa atau tsunami jika asteroid itu jatuh di laut, yang menyebabkan bencana meluas jika tsunami terjadi dekat pantai berpenduduk.

Asteroid berukuran kecil tidak menjadi bagian penelitian NASA, dan Worden berpendapat yang kecil-kecil itu mungkin lebih baik menjadi peran Angkatan Udara AS untuk melacaknya.

Menurutnya, juga penting untuk memberikan peringatan dini mengenai benda-benda angkasa yang memasuki Bumi kepada negara-negara lain yang tidak memiliki teknologi tersebut.

Worden mengatakan, Amerika Serikat negara satu-satunya di dunia yang memiliki kemampuan dalam waktu kurang satu menit untuk menentukan apakah sebuah objek angkasa yang meluncur ke Bumi adalah asteroid atau bom.

Negara itu menghabiskan sekitar empat juta dolar AS (sekitar Rp 36 mi-liar) setahun untuk melacak asteroid dan komet, tapi sangat sedikit strategi yang menjauhkan asteroid dan komet itu dari Bumi, kata para ilmuwan bulan lalu.(rtr-ben-30)

Meteor di Bone, 68 Kali Lebih Cepat dari Peluru


MASUKNYA meteor besar ke dalam atmosfer Bumi, yang diikuti ledakan di udara (air blast) di dekat Bone, Provinsi Sulawesi Selatan, pada 8 Oktober 2009 menggemparkan dunia internasional.

Apalagi jika ada yang mengait-ngaitkan dengan peringatan astronom Amerika Serikat melalui monitor ruang angkasa Inggris bahwa sebuah asteroid raksasa sedang menuju Bumi dan dapat menabraknya pada tahun 2014.

Demikian besar energi ledakan di perairan Bone ini sehingga 11 stasiun mikrobarometer dan infrasonik dalam jejaring International Monitoring System (IMS) di bawah koordinasi  Comprehensive Test Ban Treaty Organization (CTBTO) atau organisasi pengawas larangan uji coba nuklir berhasil merekamnya, padahal 5 stasiun di antaranya berjarak lebih dari 10.000 km dari Bone dan satu di antaranya bahkan sejauh 18.000 km.

Meteor besar Bone mengawali kisah spektakulernya sebagai sebuah batu bergaris tengah 9,2 meter dengan massa 1.240 ton yang melayang di angkasa sebagai asteroid kelompok Apollo, yakni asteroid dekat Bumi yang obitnya memiliki perihelion (titik terdekat dengan matahari) kurang dari 167 juta km dan memotong orbit Bumi.

Asteroid dekat Bumi umumnya memiliki rasio aphelion perihelion 1,8 dengan kelonjongan orbit (eksentrisitas) rata - rata 0,286 sehingga lebih rentan menderita gangguan gravitasi planet Bumi dan Mars yang berpotensi membelokkan orbitnya hingga jatuh membentur planet.

Karena itu masa hidup asteroid dekat Bumi di tata surya hanyalah selama 10 - 100 juta tahun atau jauh lebih pendek dibanding masa hidup planet yang bisa mencapai miliaran tahun.

Asteroid Bone pun demikian. Gangguan gravitasi membuatnya jatuh ke Bumi pada 8 Oktober 2009 pukul 11:25 WITA sebagai meteoroid dengan sudut masuk 45 derajat  terhadap horizon.

Meteoroid ini tidak mengalami hambatan berarti ketika mulai menembus atmosfer Bumi pada kecepatan awal 73.080 km/jam atau 68 kali lebih cepat dibanding peluru. Namun mulai ketinggian 65 km, atmosfer mulai memadat dan menghasilkan tekanan yang menghambat laju asteroid.
Meleleh Hambatan menghasilkan panas yang membuat asteroid terablasi, yaitu lapisan terluarnya mulai meleleh dan menguap, membentuk selubung plasma yang menutupi asteroid (coma) dan bentukan ekor yang khas.

Terbentuklah meteor besar dengan kecemerlangan luar biasa, yang pada puncaknya memiliki magnitude visual -12,93 atau 1,2 kali lebih terang dari bulan purnama .

Lapisan udara yang terus memadat begitu mulai memasuki lapisan stratosfer membuat tekanan yang diderita meteor besar Bone semakin besar.

Sehingga pada ketinggian 37,79 km dan kecepatan tinggal 400 km/jam, tekanan telah melampaui kekuatan gaya ikat antarmolekul penyusun meteor besar Bone dan hingga terjadilah pemecahan (break- up) yang memproduksi sejumlah pecahan berukuran besar dan ratusan hingga ribuan pecahan kecil.

Seusai proses break-up, laju pecahan - pecahan ini semakin menurun sehingga pada satu titik di ketinggian 29,78 km terjadilah perlambatan total, yang membuat seluruh energi kinetik yang dikandung meteor besar Bone terlepaskan dalam waktu yang sangat singkat sebagai ledakan besar.

Ledakan ini melepaskan energi sebesar 250 TeraJoule atau setara dengan 60 kiloton TNT,  3 kali lipat lebih dahsyat ketimbang bom nuklir Hiroshima. Gelombang kejut yang dihasilkannya menghancurkan pecahan besar menjadi debu.

Namun gelombang kejut tidak berdampak apa pun terhadap permukaan Bumi, karena di titik ground zero sekalipun (yang terletak tepat di bawah lokasi ledakan) gelombang kejut hanya menghasilkan overpressure sebesar 0,7 Pa atau jauh lebih kecil ketimbang limit 6.900 Pa yang menghasilkan dampak minimal berupa bergetarnya kaca jendela.

Sebanyak 0,1 % energi ledakan, yang setara dengan 250 GigaJoule, terkonversi menjadi energi akustik yang menyebar ke segala arah sebagai dentuman sonik dan infrasonik dengan kecepatan 972 - 1.150 km/jam.

Gelombang infrasoniknya menyebar sangat jauh hingga bisa mencapai posisi stasiun - stasiun IMS, yang mengkonfirmasikan ground zero berada di koordinat 4o 30’ LS 120o 00’ B.

Sementara dentuman sonik mencapai kota Watampone yang berjarak 40 km dari ground zero sebagai gelegar suara dalam waktu 150 - 180 detik.

Ketika energi akustik berhasil mencapai permukaan Bumi maka 0,017 % di antaranya terkonversi menjadi energi seismik yang menjalar sebagai gelombang Rayleigh.

Seismograf Pusat Gempa Nasional BMKG merekam gelombang ini sebagai gempa dengan magnitude 1,9 skala Richter yang setara dengan energi seismik sebesar 44,7 Mega Joule.

Pascaledakan, simulasi menunjukkan dengan magnitude visual lebih besar dari -10, meteor sebagian kecil pecahan meteor terutama yang massanya di bawah 1 kg akan terus melanjutkan perjalanannya menembus atmosfer Bumi.

Proses ablasi berhenti beberapa km di bawah ketinggian titik ledak sehingga pecahan - pecahan kecil ini berhenti memancarkan cahaya dan mulai menjalani proses pendinginan di lapisan troposfer hingga mencapai titik retardasi, di mana gravitasi Bumi mengambil alih sepenuhnya perilaku pecahan sehingga akan jatuh ke Bumi sebagai meteorit dengan kecepatan 100 - 200 km/jam.

Berkaca pada kejadian jatuhnya asteroid 2008 TC3, puluhan meteorit kecil dengan total massa 60 kg mungkin jatuh dalam area hingga radius 40 km dari gound zero, meski lokasi persisnya bergantung kepada azimuth awal meteor besar Bone.

Kejadian meledaknya meteor besar Bone sangat mengejutkan mengingat, selain merupakan ledakan terbesar dalam 15 tahun terakhir sejak peristiwa sejenis pada 1 Februari 1994 di atas Pulau Marshall (Pasifik Selatan), dimensi meteoroidnya cukup besar namun ironisnya tidak satu pun program pelacak asteroid dekat Bumi seperti Linear, Loneos, Neat, Spacewatch maupun Catalina Sky Survey yang bisa mendeteksinya.

Asteroid Lutetia ditabrak asteroid kecil

asteroid lutetia

Apa yang Menabrakmu, Lutetia?

SEBUAH wahana antariksa tak berawak yang sedang dalam perjalanan menuju dan untuk menyelidiki sifat komet Churyumov-Gerasimenko pada tahun 2014, berpapasan dengan sebuah asteroid aneh, 10 Juli 2010. Rosetta, begitulah nama wahana yang diorbitkan European Space Agency (ESA), melintas sejauh 3.160 km pada kecepatan 15 km/detik dari asteroid Lutetia.

Itulah asteroid yang berdimensi 132 x 101 x 76 km dan tergolong asteroid besar di kawasan Sabuk Asteroid Utama. Citra dan data kiriman Rosetta sungguh mencengangkan astronom dan geolog keplanetan.

Permukaan Lutetia penuh kawah besar nan tua yang ditindihi kawah muda lebih kecil. Seluruh permukaan Lutetia ditutupi lapisan debu (regolith) tebal dan di salah satu kawah dijumpai tanda-tanda longsoran debu berskala besar. Sumbu rotasi Lutetia miring 89 derajat terhadap ekliptika, yang membuat sikap Lutetia seperti Planet Uranus, yakni berotasi secara rebah.

Jadi kutub utara Lutetia tersinari matahari selama 1,9 tahun dan selanjutnya tergelapkan selama 1,9 tahun pula. Semua mengindikasikan Lutetia adalah sisa dari tabrakan dahsyat dengan sesama benda langit lain bermiliar tahun silam, peristiwa yang selama ini hanya jadi hipotesis. Apa yang menabrak belum jelas, tetapi tabrakan itu meremukkan seluruh lapisan kerak dan selubungnya menjadi beragam pecahan dan hanya menyisakan inti besar yang relatif lebih padat. Pecahan-pecahan itu mungkin menjadi salah satu sumber meteoroid kondritik yang acap jatuh ke Bumi sebagai meteor spontan.

Bencana Global

Diskursus mengenai asteroid saat ini sering dikaitkan dengan potensinya sebagai pemantik bencana global. Namun itu tidak datang begitu saja. Meski observasi sudah dilakukan sejak 1801 seiring dengan penemuan Ceres, asteroid terbesar yang kini diklasifikasikan sebagai planet kerdil berdasar resolusi IAU 2006, berkait dengan bencana global, baru diselidiki sejak setengah abad terakhir.

Sebelum abad ke-20, bencana global dianggap hanya disebabkan oleh letusan dahsyat (paroksismal) gunung berapi. Anggapan itu seolah menemu relevansinya tatkala tahun 1815 Gunung Tambora meletus dengan kedahsyatan tak terperikan sepanjang catatan sejarah. Tahun 1883 giliran Gunung Krakatau unjuk gigi, meski debu vulkanisnya hanya 12% volume debu Tambora. Kedua letusan itu menyebarkan debu vulkanik teramat banyak ke lapisan stratosfer, hingga menghalangi cahaya matahari yang berimplikasi terhadap penurunan suhu permukaan bumi. Itu menghasilkan perubahan cuaca global dengan dampak dari kelangkaan pangan hingga kemenyebaran wabah penyakit baru.

Kelahiran abad nuklir berimplikasi terhadap pergeseran paradigma akan pemantik bencana global. Ketinggian kecepatan relatif asteroid terhadap Bumi membuat potensi energi kinetiknya bisa disetarakan dengan energi ledakan nuklir sehingga, meski asteroid tak mengandung bahan radioaktif, daya perusaknya pun setara. Itu diperkuat hasil penyelidikan komprehensif Kawah Meteor di Arizona (AS), yang memastikannya sebagai produk tumbukan asteroid bergaris tengah 30 m pada 50.000 tahun silam.

Tumbukan itu melepaskan energi 3,5 megaton TNT (175 kali energi bom Hiroshima) dan mengubah batuan sedimen menjadi batuan metamorf dinamik seperti coesite dan stishovite. Batuan metamorf itu hanya terbentuk dalam lingkungan tekanan sangat tinggi, yang secara alami hanya muncul pada kejadian tumbukan asteroid dengan bumi.

Tidak pada kejadian-kejadian tektonik dan vulkanik. Kajian dinamika atmosfer pun menunjukkan sebaran debu akibat tumbukan asteroid dapat menyamai dampak sebaran debu akibat letusan katastrofik.
Pergeseran paradigma itu membawa pada kesadaran: betapa perlu mengeksplorasi asteroid lebih jauh, mengingat ketersediaan informasi nan akurat jauh lebih penting ketimbang berspekulasi pesimistik.

Spekulasi itu, misalnya, mengemuka menjelang 1992 tatkala dunia dihebohkan oleh mendekatnya komet Swift-Tuttle (periode 133 tahun) dan muncul prediksi saat komet tersebut kembali berdekatan dengan bumi pada Agustus 2126. Jaraknya sedemikian dekat, sehingga bisa bertabrakan dengan Bumi. Energi yang bakal dilepaskan diestimasikan 27,5 kali lipat energi tumbukan asteroid pada 65 juta tahun silam; peristiwa yang memusnahkan dinosaurus (Suara Merdeka, 24/5). Spekulasi kian menguat seiring dengan tabrakan mengejutkan komet Shoemaker-Levy 9 dan Planet Jupiter pada 16-22 Juli 1994, meski kajian astronom Gary W Kronk dan Brian G Marsden (1992) secara terpisah menyimpulkan ketinggian stabilitas orbit komet Swift-Tuttle sehingga tak berpeluang bertabrakan dengan Bumi hingga 2.000 tahun kelak.

Wahana

Kesadaran itu diwujudkan dalam dua arus besar: pengamatan berkelanjutan dari Bumi dan penerbangan antariksa. Pengamatan bertajuk program Spaceguard, yang terdiri atas subprogram seperti Linear, Loneos, Neat, Spacewatch, atau Catalina Sky Survey, yang bersenjata teleskop modern untuk menjelajahi keluasan langit dan mengidentifikasi benda langit tak dikenal secara otomatis sehingga profil orbitnya diketahui untuk analisis potensi bahayanya. Sukses besar dihasilkan tahun 2008, tatkala asteroid 2008 TC3 berdiameter 11 m dideteksi dan diprediksikan geraknya hanya 20 jam sebelum jatuh di ke Gurun Pasir Sahara di Sudan.

Sementara penerbangan antariksa diawali peluncuran Galileo. Galileo, yang sejatinya bertujuan menyelidiki Jupiter, terbang melintasi asteroid Gaspra dan Ida tahun 1993. Namun misi antariksa pertama yang khusus ditujukan ke asteroid adalah NEAR Shoemaker, yang menghampiri asteroid Mathilde tahun 1997 dalam perjalanan mengobservasi dan mendarat di asteroid Eros tahun 2001. Disusul Deep Space 1 yang mengamati asteroid Braille selagi terbang menuju komet Borrely, dan wahana Stardust yang memotret asteroid Annefrank selagi berusaha mengumpulkan debu komet Wild. Seluruh wahana itu diorbitkan NASA. Namun sukses berikutnya dicetak Jepang dengan JAXA-nya dalam misi Hayabusa (lihat boks).

Misi-misi antariksa itu berhasil meningkatkan informasi mengenai karakteristik dan dinamika asteroid secara eksponensial. Demikian pula Rosetta, yang terbang melintasi Lutetia ketika asteroid itu berjarak 456 juta km dari Bumi sehingga tampak sebagai benda langit sangat suram dengan magnitude visual +12 atau 250 kali lebih redup ketimbang bintang tersuram yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Pengamatan Lutetia membantu memecahkan salah satu teka-teki tentang evolusi orbit asteroid dan kaitannya dengan meteor spontan di Bumi. Namun penyelidikan asteroid masih jauh dari tuntas.

Asteroid Mengancam Bumi

PADA zaman globalisasi yang serbamaterialistik ini siapa peduli dengan nasib dan masa depan Bumi?  Manusia yang sibuk dengan upaya survival, yang sibuk melakukan pertarungan politik, sepertinya memang tak bisa diharapkan untuk memikirkan soal-soal yang futuristik  berbau sains fiksi semisal tentang ancaman benda langit terhadap Bumi.

Jangankan yang berkaitan dengan keantariksaan, yang lebih mendesak pun, seperti isu pemanasan global akibat  terkoyaknya lapisan ozon, banyak pihak yang cenderung apatis alias acuh.

Biarlah nanti alam yang akan memperlihatkan tanda-tandanya yang nyata, misalnya saat tudung es kutub meleleh akibat suhu Bumi yang naik beberapa derajad setelah pengekangan gas rumah kaca yang tak digubris. Saat itulah akan terjadi banjir yang akan menenggelamkan kota-kota pantai di berbagai tempat di dunia.

Perihal nasib Bumi, pada dasarnya orang memang tak usah merisaukan. Sejauh Bumi hanya dianggap sebagai benda angkasa anggota tata surya, yang mengelilingi matahari sekali setiap 365 hari, dengan kecepatan 18 km per detik, ia akan bertahan beberapa miliar tahun lagi.

Tetapi, apakah Bumi akan tetap menjadi rumah bagi manusia dan kehidupan lain seperti yang kita lihat sekarang ini sepanjang masa? Nanti dulu. Menurut teori evolusi bintang, matahari yang menjadi sumber kehidupan di Bumi masih akan berada dalam kondisinya seperti sekarang ini selama 4,5 miliar tahun lagi.

Setelah itu, ia akan tumbuh berkembang menjadi bintang raksasa merah (red giant stellar). Saat itulah planet terdekat dengan matahari, yaitu Merkurius, akan ditelan, dan Venus akan dibakar. Nasib Bumi kita sendiri tak akan jauh berbeda dengan kedua planet konjugasi dalam itu, yakni akan terpanggang.

Tapi, mungkin saat itu Bumi sudah tidak dihuni lagi oleh manusia. Bisa jadi karena manusianya telah ’’transmigrasi’’ ke planet lain di luar tata surya kita, dan kemungkinan besar Bumi memang sudah tak bisa dihuni lagi.

Bayangkan saja dengan populasi  penduduk yang terus membengkak, apakah ia akan sanggup menyediakan bahan pangan dan sandang? Apakah Bumi akan terus sanggup menyediakan air bersih dan bahkan udara segar untuk bernapas?

Setelah didahului oleh serangkaian konflik memperebutkan sumber alam yang makin terbatas—inilah ramalah paling realistik mengenai konflik masa depan yang telah melewati era konflik ideologis—bangsa-bangsa pemenang tetap akan menentukan bahwa kondisi Bumi sudah tidak layak untuk ditinggali lagi.

Mungkin teknologi wahana ruang angkasa semisal pesawat ulang-alik (space shuttle) pada masa itu telah cukup maju sehingga bisa membawa manusia Bumi yang survive untuk hijrah ke planet lain.

* * *
Mungkin saja itu hanya cerita fiksi ilmiah semata seperti halnya cerita film Star Trex atau Flash Gordon. Tetapi begitulah prakiraan ilmiah berdasarkan apa yang terjadi pada saat ini.

Sementari itu, di saat manusia masih terus melahirkan polusi, masih terus menjubelinya dengan penduduk yang makin bertambah secara deret ukur, Bumi masih terus  saja setia mengitari matahari sebagai induknya, sebagaimana dilakukan oleh planet-planet lain, dari Merkurius hingga Neptunus.

Dalam kerutinan mengelilingi matahari inilah, Bumi sebenarnya tidak terbebas dari ancaman tabrakan dari benda-benda angkasa lainnya, seperti asteroid (yang melenceng dari orbit lazimnya di antara planet Mars dan Jupiter), atau kepingan komet yang setelah mendekati matahari beberapa kali biasanya mengalami disintegrasi.

Ancaman ini bisa ringan, tetapi juga bisa berat. Pecahan-pecahan benda langit di atas, yang tidak cukup besar, lazimnya habis terbakar saat memasuki atmosfer Bumi dengan kecepatan tinggi, menghasilkan kelebatan cahaya yang dikenal sebagai meteor atau orang Jawa menyebutnya lintang alihan (bintang yang berpindah).

Manakala benda langit yang menuju ke Bumi berukuran besar; berdiameter beberapa kilometer; mungkin saja ia masih tersisa meski telah  terbakar saat bergesekan dengan atmosfer Bumi. Inilah yang mengerikan.

Peristiwa  seperti ini diduga pernah terjadi  di Tangushka, sebuah kawasan hutan di  Siberia (Rusia) pada tahun 1937.  Atau yang lebih spektakuler lagi yang menimbulkan kawah besar seperti dijumpai di Arizona, Amerika Serikat, dengan garis tengah 1.219 meter.

Di Tanah Air kita,  pada 8 Oktober 2009 juga  telah terjadi sebuah ledakan dahsyat di  perairan teluk Bone, Sulawesi Selatan, yang diduga akibat jatuhnya meteorid yang berasal dari asteorid berdiameter sekitar 10 kilometer ke Bumi.

“Ledakan terjadi karena tekanan atmosfer menyebabkan pelepasan energi cukup besar,  mengingat kecepatan jatuh meteor itu  sekitar 20,3 km/detik atau 73,083 km per jam,’’ kata pakar astronomi dari Lembaga Penerbangan dan Anatriksa Nasional (LAPAN), Dr Thomas Djamaluddin

Sistem pemantau internasional untuk larangan percobaan nuklir dari 11 stasiun, ujarnya, melaporkan telah mendeteksi adanya ledakan besar yang berpusat di sekitar lintang 4,5 LS dan bujur 120 BT, sekitar pukul 11:00 WITA pada 8 Oktober lalu.

Analisis ledakan menunjukkan bahwa kekuatan ledakan sekitar 50 kiloton TNT (trinitrotoluena) atau telah melampaui kekuatan bom atom, sehingga  sinyal ledakan tersebut dapat  mencapai stratosfer yang tingginya lebih dari 20 km.

Kebanyakan asteroid yang jatuh tidak menyebabkan kerusakan di Bumi, kecuali diameternya mencapai lebih dari 25 meter.

Dikatakan Djamal, berdasarkan perkiraan sebaran meteoroid-asteroid di antariksa dekat bumi, objek seperti itu punya kemungkinan jatuh di bumi setiap 2 sampai 12 tahun.

Selain asteroid, bisa saja Bumi bertabrakan dengan sebuah komet, sebagaimana diyakini pernah terjadi 65 juta tahun silam.

Peristiwa ini juga diyakini telah melenyapkan dinosaurus dari muka Bumi, karena tabrakan membuat Bumi menjadi gelap selama beberapa bulan, mematikan sumber pangan hewan purba itu.

Inilah sebenarnya ancaman yang datang terus menerus terhadap Bumi kita. Tetapi karena permukaan Bumi kita 70 persen berupa lautan, maka sebagian besar impak benda angkasa juga terjadi di laut.

Di luar aspek ancaman itu, lewatnya Bumi ke daerah reruntuk komet juga memberi atraksi menarik bagi penghuni Bumi. Seperti yang terjadi pada 21 Oktober 2009 lalu, telah terjadi hujan meteor tahunan Orionid. Hujan meteor ini bisa terjadi  saat Bumi melintasi jalur yang dilalui Komet Halley.

Di jalur itu terdapat serpihan-serpihan material komet yang berpijar dan tampak seperti hujan cahaya ketika masuk atmosfer Bumi.

Sebagian material yang tersisa berukuran sebesar kacang, meski kebanyakan sebesar butir pasir.’’Butiran debu komet yang bertabrakan dengan atmosfer akan memberikan lusinan hujan meteor tiap jam,’’ujar Bill Coke dari pusat penelitian meteorid NASA.

Hujan meteor Orionid yang menjadi latar depan gugus bintang Orion, termasuk yang paling indah menghias langit malam. “Sejak 2006, Orionid menjadi tontonan menakjubkan dengan 60 atau lebih meteor tiap jam,” tambah Coke.

Itulah sekadar fenomena alam yang hari-hari ini menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Menanggapi peristiwa itu, syukurlah bila masyarakat  kita tidak panik.

Benturan Asteroid ke Bumi 65 Juta Tahun lalu Musnahkan Dinosaurus

Salah satu benturan asteroid ke bumi 65 juta tahun yang lalu telah memusnahkan kehidupan dinosaurus. Sejarah tatasurya terbaca dari rekaman pada permukaan bulan dimana bulan merupakan benda langit yang terdekat dengan Bumi dan permukaan bulan adalah tempat yang sangat menarik, karena disana nyaris tidak ada musim serta erosi dan pergerakan lempeng tektonik telah terhenti beberapa waktu.
"Sejumlah besar asteroid dari sabuk utama yang jatuh ke area planet dalam yang terdiri atas mars, bumi, venus dan merkurius disebabkan karena gangguan pada orbit planet jupiter, ketika jupiter telah menetap pada orbitnya maka kegiatan tersebut berhenti dengan sendirinya, itu terjadi sekitar 3,8 milyar tahun lalu," ungkap Dr Fumi Yoshida dari National Astronomical Observatory of Japan (NAOJ) dalam workshop perakitan teleskop bagi guru SMA se-DIY, di ruang seminar Perpustakaan Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas MIPA UNY.
Kegiatan yang dibuka oleh Pembantu Dekan 3 FMIPA UNY Drs Sutiman itu, merupakan kerja sama antara Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNY dengan UNESCO, National Astronomical Observatory of Japan dan Jurusan Astronomi FMIPA Institut Teknologi Bandung, dalam rangka memperkenalkan pada guru bahwa untuk menggunakan alat yang lebih canggih dapat  dari peralatan yang sederhana seperti teleskop Galileo, dan pada kesempatan itu guru juga diajak merakit teleskop Galileo yang diberikan secara cuma-cuma untuk digunakan di sekolah masing-masing.
Pembicara lain pada workshop itu adalah Endang Soegiyartini MSi dari Jurusan Astronomi FMIPA ITB. Dikatakannya bahwa manusia tinggal di bumi pada galaksi Bima Sakti yang terdiri atas lebih dari 100 milyar bintang salah satunya adalah matahari yang berjarak 150 juta kilometer atau lazim disebut 1 satuan astronomi, sedangkan untuk mengukur jarak antarbintang digunakan satuan tahun cahaya dimana 1 tahun cahaya setara dengan 1.000.000.000.000 kilometer atau 63.115 satuan astronomi.
"Bintang yang terdekat dengan matahari adalah proxima yang berjarak 5 tahun cahaya, berada pada konstelasi centaurus dan merupakan sistim bintang ganda bertiga," katanya.
Pada workshop itu hadir Dr Fumi Yoshida, Hiroko Komiyana serta Akira Hirai dari National Astronomical Observatory of Japan (NAOJ), Endang Soegiyartini MSi, Evan Irawan Akbar SSi, Deva Octavian SSi dari Jurusan Astronomi FMIPA ITB serta Avivah Yumani MSi dari Media Astronomi Langit Selatan Bandung, dosen dan mahasiswa jurusan pendidikan fisika FMIPA UNY dan 40 orang guru fisika SMA negeri dan swasta di seputar DIY.
Menurut ketua panitia kegiatan, Slamet MT MPd, kegiatan itu juga merupakan sosialisasi astronomi melalui perakitan teropong bintang sederhana dari Masyarakat Astronomi Internasional yang dikelola UNESCO di 5 negara yaitu Indonesia, Peru, Brazil, Nigeria dan Uzbekhistan, sedangkan di Indonesia team UNESCO akan mengunjungi 5 kota yaitu Jakarta, Yogyakarta, Palembang, Mataram dan Tomohon.
"Teropong tersebut diberikan pada guru sekolah dimana sekolah yang diundang adalah sekolah yang siswanya pernah masuk seleksi olimpiade astronomi tingkat kabupaten atau kotamadya," tambahnya